JAKARTA - 1998 Orde Baru tumbang. Tepatnya ditumbangkan. Rakyat dan mahasiswa mendesak Presiden Soeharto mundur. Dengan legowo dan jiwa kenegarawan yang dimiliki, akhirnya Soeharto mundur. Lalu, Soeharto serahkan kepemimpinan negara kepada B.J. Habibie.
Mengapa Soeharto harus ditumbangkan? Dari pertanyaan ini kita akan tahu motif dan semangat mengapa rakyat menumbangkan Soeharto. Pertama, Soeharto terlalu lama memimpin. 32 tahun. Rakyat jenuh dan bosan. Rakyat ingin ada sesuatu yang baru. Freah dan muda. Sebuah pembaharuan dan perubahan. Ini psikologi yang normal, wajar dan sehat. Karena itu, harus ada pergantian. Pemilu demi pemilu tidak berhasil menciptkan pergantian presiden. Satu-satunya jalan yang terpaksa harus ditempuh adalah menumbangkan Orde Baru. Meski ongkos sosial, ekonomi dan politiknya cukup mahal dan besar.
Kedua, era Orde Baru rakyat merasa tertekan. Demokrasi terintimidasi. Rakyat bungkam dan tidak betani bersuara lantang. Dengan tumbangnya Orde Baru, rakyat ingin ada kebebasan bersuara dan mengungkapkan pendapat.
Ketiga, era Soeharto, korupsi cukup besar. Gaji pegawai kecil, dan korupsi ada dimana-mana. Ada di semua lembaga dan institusi pemerintahan.
Keempat, nepotisme di era Orde Baru cukup marak. Keluarga Cendana dan kolega dituduh menguasai secara vulgar alokasi APBN. Mereka mengendalikan perputaran bisnis. Tidak ada yang berani kontrol dan mencegahnya.
Kelima, pemilu tidak jurdil. Hasil pemilu diatur. Golkar selalu menang. PPP dan PDI dibonsai. Rakyat dipaksa untuk memilih Golkar. Maka, Golkar selalu menang karena menjadi partai penguasa. Suasana pemilu mencekam. Jauh dari pesta yang menggembirakan.
Keenam, Orde Baru adalah orde sentralisasi. Semua dikendalikan dari pusat. Pemerintah daerah tidak mendapat bagian yang adil dan proporsional sesuai dengan harapan mereka.
Inilah sebagian alasan mengapa Soeharto dipaksa untuk turun. Setelah turun, lahirlah era reformasi. Kebebasan dibuka dan UUD 1945 pun diamandemen. Bahkan empat kali berturut-turut. 1999, 2000, 2001 dan 2002. Akhir-akhir ini sedang diwacanakan untuk diamandemen lagi. Pro-kontra terjadi.
Setelah era reformasi lahir, apakah Indonesia menjadi lebih baik?
Di era Orde Baru korupsi merajalela. Sekarang, tidak kalah merajalelalnya. Sulit kita menemukan inatitusi dan lembaga negara yang tidak korup. Bahkan korupsinya lebih masif. Sampai ada anekdot: "dulu orang korupsi di bawah meja. Sekarang semeja-mejanya ikut dikorupsi".
Era Orde Baru, rakyat marah karena nepotisme. Sekarang? Ada beberapa partai dikendalikan oleh keluarga. Ini tidak ada di zaman Orde Baru. 9 tahun presiden menjabat, ipar, anak dan menantunya berada di posisi penting di pemerintahan.
Era Orde Baru pemilu dikendalikan. Bagaimana pemilu di era reformasi? Pemilu 2019 banyak kecurangan. 894 petugas KPPS meninggal. Pasca pemilu, puluhan demonstran ditangkap. Jelang pemilu 2024, banyak indikator adanya pengerahan instrumen negara untuk mendukung paslon tertentu.
Megawati, ketua umum PDIP bilang: "era ini kayak era Orde Baru". Pernyataan ini dibenarkan dan didukung oleh Cak Imin. Cawapres Anies Baswedan.
Situasi yang penuh sesak dan semakin jauh dari semangat reformasi inilah yang mendorong Cak imin menggelorakan Reformasi Jilid 2. Reformasi jilid 1 gagal. Karena tidak mereformasi apa-apa, kecuali tampil layaknya Orde Baru. Bahkan lebih parah lagi. Korupsi makin parah setelah revisi UU KPK. Pemilu terkekang. Karena instrumen negara digunakan sebagai mesin pemenangan. Kebebasan pendapat diintimidasi. Sektor ekonomi, pendidikan dan kesehatan maaih jauh dari perubahan. Pembangunan tidak jelas arahnya. Dalam konteks ini Orde Baru jauh lebih baik dan terukur. Desentralisasi diubah lagi menjadi sentralisasi. Lalu, apa yang bisa diambali manfaatnya dari reformasi selain mengganti Soeharto?
Perlu Reformasi Jilid 2, kata Cak Imin di acara deklarasi pemuda di Smesco kemarin malam (29/11). Cak Imin tahu dan kenal betul, Anies Baswedan adalah sosok reformer dengan integritas dan kompetensi yang meyakinkan. Rekam jejak, kiprah dan gagasannya menunjukkan kapabilitasnya untuk melakukan perubahan dan mengawali Reformasi Jilid 2.
Ini bukan omong kosong. Karena pertama, bisa dilihat faktanya dari rekam jejak dan prestasi yang pernah dibuat Anies Baswedan. Kedua, bisa disimak dari penguasaan masalah negeri ini dalam berbagai talk show, diskusi dan seminar. Ketiga, bisa dibaca dari gagasan-gagasannya untuk bangsa ini kedepan. Dan gagasan-gagasan Anies-Muhaimin begitu utuh, telah diringkas sebagiannya dalam ratusan halaman buku. Sebuah gagasan, ketika disampaikan ke publik berarti bersedia untuk didiskusikan dan siap untuk diuji. Kesiapan ini belum begitu terlihat dari kedua paslon lawannya. Baik Prabowo-Gibran maupun Ganjar-Mahfud. Apalagi kedua paslon mengambil posisi ingin melanjutkan Jokowi. Tidak ada tawaran perubahan dari dua Paalon ini, keculai fokus bagaimana memenangkan pemilihan.
Dari sini menunjukkan betapa Anies-Cak imin adalah tokoh yang paling siap untuk melakukan perubahan untuk Reformasi Jilid 2. Spirit Reformasi Jilid 2 yang diupayakan oleh Anies-Cak Imin saat ini sedang berhadapan dengan status quo. Mampukah pasangan Anies-Cak Imin yang mengandalkan gerakan rakyat ini mengambil kembali tongkat estafet reformasi yang telah lama disabotase rezim?
Jakarta, 30 Nopember 2023
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa