OPINI - Keresahan yang terjadi pada pemilu saat ini bermula dari sejak awal periode pertama masa jabatan Presiden Joko Widodo. Sejak itu mulai dirasakan kemunduran demokrasi di Indonesia, dimana pembatasan terhadap kebebaaan berpendapat dan kebebasan untuk menyuarakan ketidakpuasan rakyat terhadap rezim berkuasa mulai dirasakan.
Masyarakat yang sudah mulai menikmati kebebasan di era Reformasi, setelah lepas dari rezim Orde Baru yang otoriter, kembali dibatasi hak politik mereka, sehingga trauma politik Orde Baru kembali menghantui kehidupan berpolitik di Indonesia. Lambat tapi pasti, rakyat mulai menggeliat untuk memperjuangkan hak politik mereka, yaitu hidup dalam suasana demokrasi bagi bangsa yang besar ini.
Baca juga:
PKS Kab Kediri Tolak Kenaikan BBM Bersubsidi
|
Kemerosotan demokrasi terus berlanjut setelah terjadinya rangkaian peristiwa kriminalisasi terhadap para tokoh yang menyuarakan ketidakadilan dan ketimpangan di masyarakat. Cengkraman rezim makin hari makin memuncak, sehingga eksploitasi kekuasaan yang memihak kepada kepentingan segelintir kecil masyarakat makin terlihat dengan jelas.
Ketidakpuasan terhadap rezim berkuasa makin hari makin menampakkan wujudnya. Dilain pihak, pengikut rezim tidak kalah pula pembelaannya. Hasil survey kepuasan juga menunjukkan rapor biru rezim berkuasa, sehingga mengundang simpati masyarakat. Tapi banyak pula pihak yang meragukan orisinalitas hasil survey tersebut. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa Jokowi sangat dikenal kepiawaiannya dalam menciptakan pencitraan. Survey kepuasan dituduhkan sebagai alat pencitraan, yang jauh dari kenyataan.
Untuk lebih jauh mendapatkan dukungan masyarakat, rezim menggunakan instrumen bantuan langsung, baik bentuk tunai maupun non-tunai. Penerima bantuan langsung umumnya masyarakat miskin, yang secara resmi jumlahnya mendekati 10?ri jumlah penduduk Indonesia. Ada yang memprediksi angka ini bahkan mendekati 60%. Lengkap sudah kelompok pro dan kontra rezim berkuasa.
Kelompok masyarakat yang tidak puas terhadap rezim berkuasa mencuat kepermukaan setelah Anies Baswedan dinobatkan untuk ikut dalam kontestasi Pilpres 2024. Anies dijadikan harapan untuk membawa perubahan. Keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan merupakan pesan yang dibawa Anies sebagai resep untuk memperbaiki keadaan. Ketidakpuasan makin memuncak setelah Jokowi secara terang-terangan mengambil posisi keberpihakkannya kepada salah satu Paslon peserta pemilu.
Tuduhan dan sejumlah bukti penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilu kali ini banyak dilontarkan dan dimunculkan. Hasil quick count merupakan pemicu naiknya suhu politik. Masyarakat terbelah, ada yang pro dan kontra terhadap hasil quick count. Bukti kecurangan mengalir kepermukaan, sehingga tidak bisa dihindari kekecewaan masyarakat terhadap pemilu yang jauh dari jujur dan adil.
Tuduhan bahwa presiden tidak memperhatikan moral dan etika cukup santer dilontarkan. Tuntutan pemakzulan bermunculan dari segala penjuru. Kredibilitas presiden sebagai seorang negarawan mulai diragukan. Dengan terbentuknya kelompok pro dan kontra terhadap rezim berkuasa, dikhawatirkan akan berujung kepada konflik horizontal yang bisa terjadi diantara masyarakat.
Partai pun mulai bersuara untuk menggunakan hak angket di DPR, sebagai mekanisme untuk membahas situasi kepemimpinan negara umumnya, hasil pemilu khususnya. Keputusan dari pembahasan di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat tersebut akan menghasilkan keputusan yang legal dan konstutusional, sehingga "jalur damai" bisa diciptakan untuk menghindari konflik horizontal.
Hak angket yang sedang digulirkan wacananya merupakan upaya untuk mengembalikan demokrasi di bumi Indonesia. Hasil penggunaan hak angket jelas, yaitu pemakzulan Jokowi dan menolak hasil pemilu 2024, yang sarat dengan kecurangan. Diharapkan wakil rakyat bekerja demi memulihkan demokrasi dan meluruskan kembali moral dan etika politik di Indonesia. Diharapkan para wakil rakyat itu bekerja untuk kepentingan rakyat dan negara, bukan untuk kepentingan politik golongan maupun individu.
Sentul City, 25 Februari 2024
Dr. Rino A. Sa'danoer
(Sekjen Badan Pemenangan Anies-Muhaimin)