JAKARTA– Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, mengaku sangat prihatin terhadap beberapa media yang disewa oleh LQ Lawfirm untuk menyerang sesama pengacara, Natalia Rusli, S.H. Untuk itu, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu mengatakan agar media-media tersebut tidak menjadi wadah pemuas nafsu menyimpang alias PSK-nya LQ Lawfirm yang diketuai Alvin Liem.
Hal tersebut disampaikan Wilson Lalengke kepada jaringan media se-nusantara menanggapi pertanyaan wartawan tentang pemberitaan negatif terhadap salah satu pengurus PPWI Nasional, Natalia Rusli, S.H. beberapa waktu terakhir. “Yaa, itu merupakan hak kawan-kawan untuk memberitakan apapun di media mereka. Sepanjang isi beritanya benar dan faktual tentu saja kita hargai. Tapi, jika beritanya bohong dan hanya untuk memenuhi hasrat nafsu aneh bin menyimpang pihak tertentu, maka hal itu merupakan bentuk pelacuran jurnalisme, mereka jadi PSK bagi orang yang ingin mereka puaskan libido jahatnya, ” ungkap Wilson Lalengke, Kamis, 9 Maret 2023.
Menurut Wilson Lalengke, dirinya mengenal kedua orang yang sedang berseteru, Alvin Liem dan Natalia Rusli. Pada awalnya, kedua pengacara ini merupakan sahabat baik dan bekerjasama dalam satu lawfirm. Natalia Rusli sebagai ketuanya, Alvin Liem yang kini menghuni Lapas Salemba merupakan salah satu anggotanya. Namun, seperti kebanyakan terjadi di Indonesia, ketika berselisih paham, terutama berkaitan dengan uang, mereka yang awalnya bersahabat menjadi musuh bebuyutan.
Wilson Lalengke selanjutnya mengharapkan agar semua pihak mempelajari persoalan demi persoalan yang ada dengan cermat, teliti, dan obyektif. “Jangan main hantam kromo. Saya tahu kawan-kawan media butuh makan, tapi tetap harus menjaga idealisme jurnalistik. Minimal kawan-kawan memberitakan sesuatu yang benar dan faktual. Percayalah, uang dari hasil melacurkan idealisme tidak membawa berkah, justru sebaliknya memicu penyakit. Contohnya banyak, salah satunya Alvin Liem yang saat ini sedang sakit parah di dalam Lapas Salemba, ” beber tokoh pers nasional yang beberapa waktu lalu berkunjung ke Lapas Salemba.
Secara substansial, tambah Wilson Lalengke, kasus yang dihadapi Natalia Rusli adalah kriminalisasi terhadapnya sebagai seorang pengacara. Alvin Liem diduga kuat secara licik memanfaatkan kekecewaan seorang klien Natalia Rusli bernama Verawati untuk melaporkan Natalia Rusli ke Polres Jakarta Barat tahun 2021 lalu. Konyolnya, oknum Polres Jakarta Barat melihat peluang untuk bermain dalam kasus ini. Dengan gerak cepat, polres memproses kasus kriminalisasi itu, hingga akhirnya membuat kasus ini semakin rumit untuk diselesaikan.
“Alvin Liem mendampingi Verawati melaporkan Natalia Rusli yang dianggap menggelapkan dana 15 juta rupiah, yang sebenarnya merupakan honor Natalia sebagai pengacaranya Verawati mempolisikan Henri Surya dalam kasus KSP Indosurya. Verawati merupakan salah satu nasabah Indosurya dan menyewa Natalia Rusli dengan bayaran 15 juta rupiah itu. Karena kasusnya terkesan lamban penanganannya, Verawati kecewa dan menuduh Natalia Rusli tidak becus bekerja. Kekecewaan itulah yang dimanfaatkan Alvin untuk memuaskan nafsunya menghantam kawannya sendiri, ” terang Wilson Lalengke panjang lebar.
Kasus kriminalisasi Natalia Rusli tersebut telah dilaporkan ke Divisi Propam Polri dan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia. “Tapi kita tahulah bagaimana kinerja aparat hukum di negeri ini, parahnya ampun-ampunan. Tidak hanya di kepolisian, karakter dan mental berhukum aparat yang buruk juga merebak secara terstruktur-sistematis-masif di kejaksaan, kehakiman, dan bahkan di kalangan sebagian pengacara, ” ujar lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, England, ini.
Pelaporan kasus kriminalisasi Advokat Natalia Rusli oleh KAI ke Komisi Kejaksaan RI dapat dibaca di sini: KAI Nilai Dugaan Kriminalisasi Advokat Natalia Rusli Jadi Preseden Buruk bagi Profesi Pengacara.
Wilson Lalengke tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya terhadap beberapa media, karena segelintir pawarta yang ikut melacurkan medianya ke LQ Lawfirm tersebut dikelola oleh pentolan-pentolan PPWI yang dibinanya. Dia mengibaratkan PPWI memelihara anak harimau, saat kecil disusui PPWI, setelah disapih malah menerkam induknya sendiri.
“Bahkan perjuangan PPWI kerap ibarat menolong anjing dungu yang terjepit, setelah lepas dia balik menggigit organisasi yang menyelamatkannya. Fenomena yang sedang terjadi ini sangat menyedihkan dan memprihatinkan, ” kata Wilson Lalengke yang dikenal luas selalu membela wartawan yang dikriminalisasi di seluruh sudut negeri ini.
Sementara terkait posisi Alvin Liem yang dipandang oleh sebagian kecil masyarakat dia sedang dikriminalisasi, menurut Wilson Lalengke, hal itu harus dilihat secara obyektif berdasarkan data-data yang ada. Menurutnya, kriminalisasi umumnya muncul jika ada pihak yang merasa dirugikan namun tidak dapat melaporkannya secara hukum. Misalnya, pada persoalan pemberitaan media yang dijamin konstitusi dan dilindungi undang-undang, tidak bisa dikasuskan. Muncullah kriminalisasi melalui operasi rekayasa kasus agar orang yang memberitakan itu dapat diproses hukum menggunakan pasal-pasal tertentu didukung data dan informasi palsu.
“Dalam kasus Alvin Liem, siapa yang dirugikan tapi tidak bisa mengkasuskan dia? Alvin masuk Lapas Salemba atas kasus pemalsuan KTP untuk dapatkan klaim asuransi miliaran dari sebuah perusahaan asuransi asing. Dua orang yang terlibat dalam kasus pemalsuan KTP tersebut sudah divonis 2 tahun penjara. Jadi, kasus Alvin Liem murni pidana, itu bukan kriminalisasi. Bahwa dia vocal terhadap kesemrawutan hukum di negara ini, itu adalah hal lain dan tetap kita hargai. Tapi bagi saya, kain kotor tidaklah mungkin bisa membersihkan meja kotor, ” cetus Wilson Lalengke yang mengakui bahwa Alvin Liem pernah menjadi advokat bagi Anggota PPWI, Ery Biyaya, dalam kasus kisruh dewan direksi pabrik hebel di Cikande, Banten, melawan Mimihetty Layani, pemilik perusahaan kopi di Surabaya.
Lagi, menurutnya, pengacara seharusnya melakukan tugasnya beracara di pengadilan. Segala pergerakannya dalam proses beracara, itulah yang dipublikasikan di media. Proses peradilan yang mereka lakukan, itulah yang dimediakan, bukan opini dan justifikasi ngawur yang tidak berdasar fakta hukum dan putusan pengadilan yang digembar-gemborkan.
“Namanya penasehat hukum, omongannya harus berdasarkan fakta hukum. Lain halnya jika suara dari LSM, ormas, pengamat, atau pihak yang lebih independen, ini perlu didengar publik pendapat mereka. Dan, paling relevan adalah suara korban itu sendiri, inilah yang paling perlu disuarakan di media-media. Bukan suara lawyer seperti Alvin yang pasti bersuara karena uang dan kepentingan materi lainnya. Sementara dia sendiri melanggar hukum. Renungkan itu baik-baik yaa, makasih, ” pungkas Wilson Lalengke. (APL/Red)