OPINI - Bertubi-tubi masyarakat dihebohkan dengan berbagai peristiwa yang melibatkan segelintir oknum petinggi atau pejabat di beberapa instansi. Semuanya terjadi disebabkan satu hal, yakni kekuasaan (power).
Beberapa menyebutkan, selain terkena sanksi yang berlaku para oknum tadi juga harus menerima serangan opini publik (public opinion) di dunia maya oleh orang-orang yang dikenal dengan sebutan ‘netizen plus enam dua’.
Haruslah dipahami, seluruh manusia dibelahan bumi manapun juga tahu bahwa ‘in any system in the world, the people is true legislator’.
Tanpa rakyat tidak akan pernah ada negara. Sebuah negara bisa punah, tetapi tidak dengan rakyatnya. Kedaulatan sejatinya ada ditangan rakyat (sovereignty).
Kecuali raja, para penerima amanah kekuasaan nantinya saat berakhir masa bakti niscaya akan kembali menjadi rakyat.
Sehebat dan sekuat apapun kekuasaan apabila tanpa berlandaskan etika, maka dipastikan akan hancur dan runtuh oleh kehendak sang waktu.
Sepanjang sejarah peradaban bahkan semenjak bumi tercipta, tidak ada satupun kekuasaan manusia yang abadi (un absolute). Tidak perlu disebutkan di sini satu persatu, semuanya mutlak diluluhlantakkan oleh sang waktu.
Belajar dari berbagai kejadian seharusnya perilaku politik pemimpin harus dijauhkan dari ‘rasa punya kuasa’ apalagi menonjolkan kemewahan, sehingga tidak menimbulkan perasaan iri di hati masyarakat.
Jika semua sadar bahwa apa yang dilakukan semasa hidup akan menjadi cerita (story of life), dipastikan bakal konsisten menorehkan tinta kebaikan selagi hayat masih dikandung badan.
Segala perbuatan baik maupun buruk akan terus dikenang oleh keluarga, kolega, hingga keturunan di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, jika sedang diamanahkan kekuatan dan kekuasaan maka tegakkanlah keadilan meskipun langit akan runtuh (fiat justitia ruat caelum). Mari bersama-sama kembali kuatkan pilar-pilar hukum yang belakangan seakan-akan sedang goyah.
Ini harus menggugah kesadaran semua, bahwa perencanaan pembangunan hukum harus mulai didialogkan dan diperdebatkan oleh seluruh anak bangsa.
Seperti layaknya para pendiri bangsa (founding fathers) menjelang kemerdekaan dalam konstituante mengkonstruksikan pembangunan nasional berkesejahteraan untuk dibingkai hukum supaya tidak ada yang ditinggalkan.
Tujuannya cuma satu, agar semua warga negara memiliki akses yang sama terhadap keadilan (equality access to justice).
Kedepannya jangan boleh ada lagi hasrat atau keinginan satu kelompok (kolegial) menguasai negara. Mari wujudkan negeri tercinta menjadi negara industri maju, paling sejahtera dan bahagia di dunia. Astungkara.
Oleh: Ngurah Sigit
*Penulis adalah Sosiolog, Budayawan, dan Pemerhati Media.