PALANGKA RAYA - Koordinator Aliansi Dayak Bersatu yang juga Kepala Biro Pertahanan dan Keamanan Adat Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah (DAD Kalteng), Ingkit Djaper kepada wartawan, Kamis (8/8/2022) menegaskan, putusan Mahkamah Agung RI terkait keberadaan lahan di Desa Bukit Raya (H1) dan Bukit Makmur (H2), Mantobi Raya, Kabupaten Lamandau, harus secepatnya diberikan kepada masyarakat di dua desa tersebut.
Hal ini sangat penting mengingat lahan seluas kurang lebih 1.055 hektare tersebut sudah sangat jelas menjadi milik masyarakat setempat. Bila perusahaan tidak mengindahkan hasil putusan yang diterbitkan oleh PTUN dan Mahkamah Agung RI, maka tidak ada kata lain kecuali mengambil paksa lahan dimaksud.
“Jangan kebiri hak masyarakat lokal. Hasil Putusan PTUN dan Mahkamah Agung RI sudah sangat terang benderang tersurat dan tersirat, lahan yang dikuasai oleh perusahaan hampir kurang lebih 8 tahun tersebut adalah milik masyarakat. Apalagi upaya kasasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan di Mahkamah Agung RI secara tegas ditolak, ” kata Ingkit Djaper. Lebih lanjut disampaikan Ingkit Djaper, pihaknya sangat mendukung dan memberikan apresiasi atas langkah konkrit Ormas Borneo Sarang Peruya (BSP) yang membela masyarakat serta memberikan pendampingan untuk mendapatkan kebenaran atas hak. Hal seperti ini tentunya juga wajib di dukung oleh Ormas yang benar-benar berpihak kepada masyarakat dalam melawan kedzoliman pihak perusahaan.
Tidak ada kata lain yang harus dilakukan kecuali mengembalikan hak-hak masyarakat lokal yang telah dikuasai oleh perusahaan sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI. Berdasarkan data dan informasi yang dihimpun oleh pihaknya. Menurutnya, saat ini tercatat ada ratusan hektare lahan kebun yang berada di luar Hak Guna Usaha (HGU).
Paling konrkit lagi bahwa Pengadilan Negeri Pangkalan Bun harus turun langsung ke lokasi untuk membacakan hasil putusan Mahkamah Agung RI yang telah dikeluarkan untuk mempertegas kepemilikan lahan masyarakat. PTGemareksa dan PTSatria Hupasarana diharapkan segera membayarkan tandan buah segar (TBS) petani sawit dengan nilai yang belum terbayar sebesar kurang lebih Rp. 10 miliar.
“Ormas Borneo Sarang Peruya (BSP), tokoh adat, dan tokoh masyarakat setempat harus dorong perolehan hak-hak masyarakat lokal. Support penuh masyarakat dari dua desa tersebut untuk tetap mempertahankan haknya”, kata Tokoh Pemuda Dayak ini juga. Pola atau lebih tepatnya langkah konkrit lain yang dapat dilakukan, Pemkab Lamandau dapat menjadi mediator agar ada titik temu dengan cara memanggil pihak perusahaan.
Pemanggilan ini dilakukan Pemkab sebagai wujud implementasi keberpihakan kepada masyarakat lokal selaku tuan dan pemilik tanah di dua desa tersebut. Apabila ada komunikasi yang baik dengan pihak perusahaan, maka diharapkan lahan yang berada diluar HGU tersebut dapat dikelola dengan baik oleh masyarakat sehingga mereka tidak hanya menjadi penonton di tanah yang menjadi milik mereka. (*)