Suku Kampai adalah salah satu klan (marga) Minangkabau. Secara etimologi, kampai adalah istilah dalam bahasa Minangkabau baku yang memiliki arti "tempat padi bersemai". Suku (klan) ini dapat ditemui di Sungai Pagu, Solok Selatan, Solok, Pesisir Selatan, Kabupaten Lima Puluh Kota, Tanah Datar, kampar dan beberapa lainnya di Minangkabau baik di darek maupun rantau.Klan (suku) Kampai ini berkerabat dengan beberapa klan (suku) lainnya di Ranah Minangkabau, diantaranya yakni Malayu, Panai, Bendang, Mandeliang. Panghulu suku Dt. Rajo Malikan Nan Gomuak, Dt. Marajo Cindo Nan Kuniang dan Dt. Rajo Pahlawan
Hubungan Kampai Minangkabau dan Kerjaan Champa
Urang Campa adalah sebutan bagi komunitas Champa dalam bahasa mereka sendiri. Di Malaysia, mereka dikenal sebagai Melayu Champa. Mereka menganut Islam sejak abad ke-7, bertepatan dengan perkembangan Islam di Nusantara pada umumnya.
Menurut penelitian, asal usul orang Champa adalah masyarakat Melayunesia yang mendiami Kepulauan Nusantara sejak abad sebelum Masehi.
Sepanjang sejarah selama 1, 5 milenium (192 M – 1832 M), bangsa ini telah mengalami masa kejayaan dan kehancuran. Kini, mereka dapat dikatakan punah karena tidak memiliki tanah air lagi dan keturunannya, sekitar 500.000 orang, tersebar di delapan negara (Kamboja, Vietnam, Malaysia, Indonesia, USA, Thailand, Laos, dan Perancis).
Kerajaan Champa (Chăm Pa dalam bahasa Vietnam atau Chiêm Thành dalam catatan Hán Việt) adalah kerajaan yang menguasai bagian selatan dan tengah Vietnam dari abad ke-7 hingga 1832.
Bangsa Champa, bangsa pedagang pada masa kejayaannya, menguasai jalur perdagangan sutera dan rempah-rempah antara China, Nusantara, India, dan Persia. Mereka umumnya adalah pedagang perantara.
Kerajaan Champa diperintah oleh 14 dinasti. Nama Champa telah ada sejak 658 M dalam prasasti Sanskrit yang ditemukan di selatan Vietnam Tengah saat ini.
Menurut sumber Sanskrit, Champa dipimpin oleh Bhadravarnom. Kerajaan ini menerima pengaruh China pada akhir abad ke-13, dan pengaruh ini hilang pada abad ke-15.
Kerajaan ini didirikan oleh Chu Lien. Inderapura adalah pelabuhan terkenalnya, dan kerajaan ini memiliki pegawai pemungut cukai dalam pemerintahannya. Kerajaan Champa dipengaruhi oleh agama Hindu.
Catatan tertua tentang negara ini, yang didirikan oleh orang Cham, terdapat dalam manuskrip China yang ditulis oleh dua utusan Maharaja Wu, Kang Thai dan Zhu Ying, pada pertengahan abad ke-3 Masehi. Catatan itu menggambarkan Kerajaan Funan dan menyebutkan bahwa 'Kerajaan Funan terletak lebih dari 3.000 km ke barat dari Negara Lin Yi'.
Pengkaji sejarah menamai kerajaan ini Campa, yang dikenal di kalangan orang China sebagai Lin Yi (berarti 'hutan yang penuh dengan keganasan') dan Chiam-Thánh oleh orang Vietnam. Dipercaya kerajaan ini telah ada sejak tahun 192 M di bawah pemerintahan raja Hindu bernama Sri Mara.
Lin Yi, yang juga dikenal sebagai Indrapura atau Angadvipa, dianggap sebagai negara Champa yang paling awal.
Islam mulai berkembang di kalangan Champa setelah abad ke-10 oleh pedagang Arab, Parsi, Gujarat, dan China Islam.
Menuju abad ke-17, keluarga kerajaan Champa mulai beralih ke Islam, yang akhirnya mengakibatkan perubahan besar dengan mayoritas penduduk Champa kemudian memeluk Islam.
Sekarang, orang Champa terbagi hampir sama antara penganut agama Islam dan Hindu, dengan mayoritas Cham Vietnam beragama Hindu sedangkan mayoritas Cham Kamboja beragama Islam, meskipun masih ada minoritas besar Mahayana Buddha.
Catatan abad ke-15 Indonesia menunjukkan pengaruh Putri Darawati, seorang puteri Champa, dalam mempengaruhi suaminya, Kertawijaya, raja Majapahit ketujuh, untuk mengislamkan keluarga kerajaan Majapahit.
Makam Islam Putri Champa ditemukan di Trowulan, Jawa Timur, lokasi Empayar Majapahit.
Dari abad ke-15 hingga abad ke-17, Kesultanan Islam Champa menjalin hubungan baik dengan Kesultanan Aceh melalui perkawinan dinasti. Kesultanan ini berada di ujung utara Sumatera dan merupakan penyebar Islam di kepulauan Melayu.
Studi linguistik menunjukkan bahwa orang Aceh dan Champa memiliki hubungan kekerabatan, dengan kedua bahasa mereka berasal dari keluarga bahasa Aceh-Chamic yang sama.
Champa mulai menerima pengaruh Islam setelah dikalahkan oleh Vietnam, yang menyebabkan jatuhnya kota Vijaya pada tahun 1471.
Sultan pertama yang memerintah Champa, yang berpusat di Panduranga, adalah Sultan Abu Abdullah atau Wan Bo Tri-Tri, yang menggantikan bapa mertuanya. Beliau adalah putra Aria Gajah Mada atau Ali Nurul Alam, Perdana Menteri Majapahit II.
Champa juga menjalin hubungan dekat dengan dinasti raja-raja yang berkuasa di Nusantara, seperti Sriwijaya dan Majapahit. Dalam salah satu catatan, disebutkan bahwa Kertawijaya, Raja Majapahit, menikahi Putri Champa yaitu Putri Darawati.
Bangsa Champa juga tersebar sampai ke Aceh dan Minangkabau. Bahkan, bahasa Champa mempengaruhi Bahasa Aceh yang dituturkan di Pesisir Utara dan Pesisir Timur Aceh.
Bangsa Champa juga menganut adat matrilineal (hak warisan lebih kepada jalur ibu), sama seperti yang diamalkan oleh orang Minangkabau saat ini.
Ekspansi kekuatan oleh Vietnam sejak tahun 1720 menyebabkan runtuhnya Kerajaan Champa dan pembubaran oleh Raja Vietnam pada abad ke-19, Minh Mang, pada tahun 1832.
Sebagai tanggapan, Raja Champa Islam terakhir, Po Chien, mengumpulkan rakyat Champa di kawasan pedalaman dan melarikan diri ke selatan ke Kamboja, sementara mereka di sepanjang pantai berhijrah ke Terengganu (Malaysia).
Sebuah kelompok kecil lainnya melarikan diri ke utara ke Pulau Hainan di China, di mana mereka dikenal hari ini sebagai Utsuls.
Tempat kediaman mereka di Kamboja, di mana raja dan kaumnya menetap, masih memakai nama Kampong Cham (pendaratan Cham); komunitas Champa lainnya tersebar di seluruh Lembah Mekong.
Mereka yang tinggal di Nha Trang, Phan Rang, Phan Ri, dan Phan Thiet di wilayah tengah Vietnam telah terasimilasi ke dalam struktur politik Vietnam.